Jumat, 19 Mei
2023
Kubuka
perlahan selembar kertas yang ia berikan padaku tadi pagi. Mulai tampak deretan
huruf-huruf dengan tinta biru yang menyala. Tanganku gemetar tak kuasa menahan
perasaan ini. Dengan membaca basmalah, kubaca isi surat itu dengan
seksama.
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Untuk
suamiku tercinta,
Belum
pernah sebelumnya aku merasa sebahagia ini. Karunia-Nya yang begitu indah,
menjadikanku sebagai seorang wanita yang paling mulia. Hari ini, aku menemukan
cinta sejatiku. Dan itu adalah Kamu.
Teringat
dahulu masa-masa kita di sekolah. Engkau mengirimiku berbelas-belas surat cinta
yang aku pun hampir muntah membacanya. Aku tidak pernah membalas surat-suratmu
itu, hingga ketika masa kelulusan, aku membalas surat-suratmu dengan satu
tulisan saja. Aku masih ingat, ketika itu aku menulis satu syarat agar kamu
bisa dekat denganku. Kamu harus hafal Al-Quran. Ya, aku masih ingat itu.
Teringat
dahulu masa-masa kita di kampus. Dulu aku dan kamu begitu aktif di kegiatan
masing-masing, hingga suatu saat kita pernah dipertemukan di suatu perkumpulan.
Dan aku masih ingat, kala itu kamu sedang menjelaskan kepada kawan-kawan
mengenai proyek yang akan dijalankan. Namun tiba-tiba pandangan kita bertemu
sekilas, sampai-sampai kamu berhenti seketika dan dikagetkan dengan suara teman
di sebelahmu. Aku masih ingat, ketika itu aku dan kamu mengikuti kegiatan
halaqah masing-masing. Kita sama-sama mempelajari islam lebih dalam dengan
terus mengemban misi dakwah yang mulia, hingga pada suatu kesempatan, yang aku
yakin itu adalah bagian dari skenario-Nya, kita dipertemukan oleh murabbi kita
untuk saling ber-Ta’aruf.
Indah
sekali. Semua itu diakhiri dengan hari yang indah ini. Hari dimana kita
sama-sama melengkapi separuh dari iman kita. Hari dimana antara kita tidak akan
ada lagi jarak yang berarti. Hari dimana dimulainya perjuangan kita berdua
dalam kehidupan rumah tangga.
Masih
ingat surat yang pernah aku berikan kepadamu ketika masa SMA dulu? Aku senang
karena mengetahui bahwa kau telah mampu melaksanakan syarat itu. Dari dulu aku
tidak pernah meragukanmu walaupun kau mempunyai sifat yang seperti itu. Tidak pernah
sedikitpun dalam benakku terbersit pikiran negatif terhadapmu. Entah mengapa
seperti itu.
Aku
bahagia. Bahagia sekali. Kini mimpiku terwujud. Memiliki imam shalat yang hafal
Al Quran kemudian melantunkannya dengan suara yang merdu. Aku bersyukur kepada
Allah telah mengaruniakan dirimu untukku. Wahai suamiku, dengan izin-Nya, aku
akan selalu ada di sisimu, selamanya.
Tertanda,
Istrimu.
Terasa
ada energi yang mengaliri seluruh tubuhku ketika selesai membaca surat itu. Aku
menghela nafas, kemudian tersenyum. Ya, istriku. Hari ini aku juga bahagia.
Dengan segenap hati, Insya Allah, aku akan menuntunmu menuju surga-Nya.
Sabtu, 17
Oktober 2022
Malam minggu seusai halaqah,
aku tidak bergegas meninggalkan rumah Ustadz Fadli, murabbi-ku. Ada
suatu hal yang penting yang ingin kubicarakan.
“Ada apa, Ris? Ada masalah di
kampus?”
“Iya, stadz. Masalah batin,”
kataku sambil tersenyum.
“Masya Allah, sepertinya saya
sudah bisa menebak apa masalahmu. Soal akhwat, ya?” tebak Ustadz Fadli. Dan
tebakannya benar.
“Wah, Ustadz tahu saja,” jawabku
“Ayo coba ceritakan.”
“Begini, Stadz. Dulu Ustadz
pernah bilang kepada a’dho Ustadz kalau Rasulullah menganjurkan umatnya
untuk menikah muda. Selain itu saya juga ingat waktu itu Ustadz pernah bilang
kalau menikah itu hukumnya wajib jika seseorang itu sudah mampu dan ingin
menghindari zina. Nah, saat ini saya merasa dalam kondisi seperti itu, stadz.
Insya Allah saya akan diterima kerja di Rumah Sakit Aria Buana setelah
lulus nanti...”
“Lho? Lalu apa masalahnya kalau
begitu?” potong Ustadz Fadli.
“Belum selesai, Stadz. Justru
masalah saya ini adalah yang paling penting. Saya belum punya calonnya, Stadz,”
kataku sambil menggaruk-garuk kepala. Seketika Ustadz Fadli tertawa
terbahak-bahak selama beberapa detik. Aku hanya terdiam sambil membatin. Apanya
yang lucu?
Kemudian beliau mulai berbicara,
“Kamu ini, belum lulus saja sudah mikir
jauh. Tapi nggak apa-apa, itu tandanya kamu sudah siap untuk
menggenapkan separuh imanmu itu. Begini, Faris. Allah itu sudah
menuliskan takdir semua orang di buku rahasia-Nya, di Lauh Mahfudz.
Setiap manusia telah Allah gariskan rezekinya, takdirnya, sampai jodohnya pun
telah Allah tentukan. Tidak ada satu pun dari makhluknya yang mengetahui isi buku
tersebut. Nah, kamu, Sayyid Faris Al-Qassam, sudah Allah tuliskan segalanya
tentangmu di Lauh Mahfudz itu, termasuk jodohmu. Jadi, jangan khawatir
kamu akan kehabisan wanita di muka bumi ini. Insya Allah, orang
sepertimu akan mendapatkan yang terbaik.
“Sebagai bentuk ikhtiar, saya punya
kenalan murabbiah yang a’dho-nya juga seusiamu. Nanti akan saya
tanyakan kepada beliau, barangkali ada yang cocok buatmu. Siapkan saja Curriculum
Vitae-mu beserta pas foto dan kasih ke saya besok pagi, nanti akan saya
tukarkan dengan Curriculum Vitae-nya calonmu itu.”
Seketika mataku berbinar. Tidak
kusangka, niatku yang tadinya hanya curhat ternyata berakhir menjadi rezeki.
Ustadz Fadli memang top!
“Terima kasih, stadz. Nanti
akan saya siapkan CV-nya. Kapan kira-kira saya bisa berkunjung lagi, stadz?”
“Senin malam kamu ke rumah saya. Insya
Allah sudah ada infonya. Kamu siap-siap saja.”
****
Senin malam itu aku bergegas menuju
ke kediaman Ustadz Fadli. Aku sudah tidak sabar ingin membaca CV-nya. Pikiranku
bercampur aduk tak menentu. Ah, semoga saja ini menjadi langkah awal yang
baik. Bismillah.
Setelah mengobrol sebentar, Ustadz
Fadli pergi menuju ke kamarnya dan kembali lagi sambil membawa sebuah map
berwarna abu-abu. Kemudian ia menyerahkan map itu padaku. Dengan membaca
basmalah, kubuka perlahan map abu-abu itu. Kemudian kubaca sebuah nama yang
tertera di kertas itu.
Deg! Seketika aku tersentak
ketika membaca nama itu. Naila Khumaira Fatimah. Kemudian aku mengucek
mata. Tidak berubah. Tetap kertas itu bertuliskan Naila Khumaira
Fatimah.
“Ris, kamu kenapa? Jangan bengong
gitu, dong.”
Tiba-tiba aku teringat surat
berwarna merah muda yang masih kusimpan di dalam lemariku.
Kamis, 18
Oktober 2018
Kulihat pagi ini begitu hangat
menyapaku. Burung-burung bersenandung seakan membentuk alunan melodi yang merdu.
Terlihat beberapa titik-titik air di permukaan daun karena sisa-sisa hujan tadi
malam. Sinar hangat sang Surya seakan menambah energiku untuk memulai aktivitas
hari ini. Setelah sarapan dan berpamitan dengan Bu Tinah, ibu kosku, aku pun
berangkat menuju kampus.
Siang ini akan ada pertemuan seluruh
mahasiswa kedokteran se-pulau Jawa untuk membahas sebuah proyek besar di tahun
ini, yaitu program penyuluhan kesehatan di lima ratus desa. Aku ditunjuk
sebagai koodinator bidang acara yang mengurus jalannya acara serta menentukan
desa mana saja yang akan dikunjungi. Aku berada di bagian ini dengan dibantu
oleh tiga orang temanku, yaitu Syamil, Jihad, dan Wali. Sebelum rapat dimulai,
kami menyusun terlebih dahulu poin-poin yang akan kami diskusikan di pertemuan
siang nanti.
Di pertemuan ini, masing-masing
koordinator bidang secara harus berdiri untuk menjelaskan progress yang
sudah dilakukan. Setelah bendahara membacakan laporan keuangan, kini giliranku
untuk menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan acara.
“Baik. Disini kami dari bidang acara
telah membuat alur registrasi peserta penyuluhan di tiap desa. Bisa dilihat di slide
ini, para peserta penyuluhan masuk untuk melakukan registrasi. Di meja
registrasi cukup ada empat orang. Kemudian peserta penyuluhan mengambil nomor
antrean dan diarahkan untuk segera menempati tempat yang tersedia. Sambil
menunggu nomornya dipanggil, peserta penyuluhan dapat mengikuti presentasi yang
diselenggarakan di panggung utama. Kemudian untuk desa-desa yang akan
dikunjungi, kami telah memilih dua ratus desa yang menjadi prioritas utama
karena kondisinya yang sangat memprihatinkan. Berikut adalah daftar desa-desa
tersebut,” kemudian aku berhenti sejenak untuk memperlihatkan daftar yang ada
di slide. “Baiklah, cukup sekian presentasi dari kami. Terima kasih.”
Usai pertemuan, aku bersama Syamil,
Jihad, dan Wali pergi ke kantin kampus untuk mengisi perut kami yang sudah
kosong. Setelah memesan mie ayam dan es teh manis, kami duduk di salah satu
meja bagian pojok. Kemudian Wali membuka pembicaraan.
“Eh, lu tau nggak tadi ada
bidadari cantik pas kita lagi ngumpul,”
“Serius lu? Anak mana dia?” Syamil
penasaran.
“Katanya sih anak Undip, tapi nggak
tahu juga. Tadi dia pake kerudung warna biru langit gitu. Cantik deh
pokoknya,” dengan semangat Wali menjelaskan.
Aku hanya diam memerhatikan obrolan
mereka. Ah, dasar jomblo, batinku.
“Lu tau
nggak siapa namanya? Percuma aja lu ngasih tau kita info itu kalau
lu nggak tau namanya,” tanya Jihad kepada Wali.
“Yah, jangankan nama, akun facebook-nya
aja gua dapet!” kata Syamil dengan gaya angkuhnya.
“Hah? Serius?” Syamil dan Jihad
penasaran.
“Nih, liat,” kata Wali sambil
menunjukkan laptopnya.
“Naila Khumaira Fatimah. Wih, namanya
bagus! Pasti orangnya juga bagus!” seru Jihad.
Deg! Seketika dadaku terasa
sesak. Sepertinya aku kenal nama itu. Nama itu pernah menjadi bayang-bayang
dalam benakku. Nama itu juga pernah kutulis menjadi sebuah puisi. Ya, aku kenal
nama itu. Naila Khumaira Fatimah. Dia adalah teman SMA-ku dulu.
Dan
surat merah muda itu masih tersimpan di dalam lemariku.
Selasa, 3
November 2015
“Cieee... nulis surat lagi.
Emang bakal dibales?”
“Udahlah, Ris. Cinta lu tuh bertepuk
sebelah tangan. Hahaha...”
Yah, begitulah teman-temanku. Mereka
selalu saja menggangguku ketika aku sedang menulis ini. Walaupun telah berpuluh
surat aku tuliskan untuknya sejak masa kelas satu dulu, tak ada satu pun surat
yang pernah dibalasnya. Isi surat itu memang bermacam-macam. Kadang aku
menulisnya hanya untuk sekadar iseng, menanyakan pelajaran, atau curhat. Yang
paling banyak adalah tentang perihal gombal-menggombali, dan itu sudah
aku tinggalkan sejak kelas satu semester dua dahulu. Meskipun begitu,
aku tak akan menyerah. Aku akan terus menulis surat untuknya dan menunggu
balasan darinya, hingga aku lulus nanti.
Tidak seperti biasanya, hari itu
kami pulang lebih cepat karena ada rapat guru mendadak. Dengan santai, aku
merapikan barang-barangku dan bergegas pulang ke asrama. Ketika memeriksa
kolong meja, tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas berwarna merah muda yang
terlipat rapi. Hatiku berdegup kencang. Belum pernah aku mendapat surat semacam
ini sebelumnya. Kemudian aku balik kertas itu dan menemukan sebuah tulisan: Faris.
****
Di tengah keheningan malam yang
sejuk, aku mendirikan shalat Tahajjud di kamar. Suasananya begitu nyaman dan
syahdu. Terdengar suara-suara jangkrik dari jendela kamar menemaniku yang
sedang sendiri.
Seusai shalat, tiba-tiba aku
teringat sesuatu. Surat merah jambu itu. Langsung saja aku merogoh tasku
dan membaca surat itu. Surat pertama yang aku dapatkan secara misterius.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.
Untuk Faris,
Aku minta maaf telah menaruh surat
itu di kolong mejamu tanpa izin sewaktu istirahat tadi. Aku hanya ingin
memberitahumu bahwa semua surat yang kamu berikan padaku masih kusimpan rapi di
meja belajarku.
Selama ini aku sadar bahwa kamu
sudah sejak lama memperhatikanku. Dan terus terang saja, aku merasa kurang
nyaman dengan perlakuanmu itu. Sebenarnya itu hanya akan memperlebar jarak
antara kita saja. Seharusnya kamu berlaku biasa saja, tidak usah
dilebih-lebihkan seperti itu.
Karena sudah kelas tiga, maka aku
memintamu untuk berhenti menulis surat untukku. Itu hanya akan menganggu
pikiranmu saja. Aku hanya khawatir bahwa hal ini akan mengganggu belajarmu dan
belajarku. Apalagi kita akan menghadapi berbagai ujian di tahun ini. Aku minta
maaf jika hal ini menyinggungmu. Aku hanya ingin kita semua lulus bersama-sama.
Itu saja.
Faris, kamu boleh dekat denganku.
Bahkan lebih dekat daripada teman-temanku. Tapi ada satu syarat yang harus kamu
penuhi. Kamu harus menjadi Hafidz Al Quran, kemudian melantunkannya dengan
indah. Itu saja.
Aku harap surat ini dapat kamu
terima dengan baik. Sekali lagi aku minta maaf jika ini menyinggung perasaanmu.
Terima kasih kamu sudah peduli padaku hingga saat ini.
Tertanda,
Naila
Aku menarik napas panjang. Aku tidak
menyangka ternyata surat merah jambu ini menjadi surat balasan yang selama ini
aku tunggu. Syarat itu. Syarat itu akan menjadi tantangan yang akan aku
selesaikan.
Cerita ini dibuat sebagai bagian dari proyek pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu membuat cerita pendek se-angkatan. Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Amiin
BalasHapus