Selasa, 15 Maret 2016

Merenungi Kembali: Jadi Ikhwan Jangan Cengeng

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Dikasih amanah pura-pura batuk
Nyebutin satu persatu kerjaan biar dikira sibuk
Afwan ane sakit... Afwan PR ane numpuk
Afwan ane banyak kerjaan, kalo nggak selesai bisa dituntut
Afwan ane ngurus anu ngurus itu jadinya suntuk
Terus dakwah gimana? Digebuk?

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Dikit-dikit dengerin lagunya edcoustic
udah gitu yang nantikanku di batas waktu, bikin nyelekit
Ke-GR-an tuh kalo ente melilit
Kesehariannya malah jadi genit
Jauh dari kaca jadi hal yang sulit
Hati-hati kalo ditolak, bisa sakit

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Dikit-dikit SMSan sama akhwat pake Paketan SMS biar murah
Rencana awal cuma kirim Tausyiah
Lama-lama nanya kabar ruhiyah.. sampe kabar orang rumah
Terselip mikir rencana walimah?
Tapi nggak berani karena terlalu wah
Akhirnya hubungan tanpa status aja dah

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Abis nonton film palestina semangat membara
Eh pas disuruh jadi mentor pergi entah kemana
Semangat jadi penontonnya luar biasa
Tapi nggak siap jadi pemainnya... yang diartikan sama dengan hidup sengsara
Enak ya bisa milih-milih yang enaknya aja

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Ngumpet-ngumpet buat pacaran
Ketemuan di mol yang banyak taman
Emang sih nggak pegangan tangan
Cuma lirik-lirikkan dan makan bakso berduaan
Oh romantisnya, dunia pun heran
Kalo ketemu Murabbi atau binaan
Mau taruh di mana tuh muka yang jerawatan?
Oh malunya sama Murabbi atau binaan?
Sama Allah? Nggak kepikiran
Yang penting nyes nyes romantis semriwing asoy-asoy-an

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Disuruh infaq cengar-cengir
Buat beli tabloid bola nggak pake mikir
Dibilang kikir marah-marah dah tuh bibir
Suruh tenang dan berdzikir
Malah tangan yang ketar-ketir
Leher saudaranya mau dipelintir!

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Semangat dakwah ternyata bukan untuk amanah
Malah nyari Aminah
Aminah dapet, terus Walimah
Dakwah pun hilang di hutan antah berantah
Dakwah yang dulu kemanakah?
Dakwah kawin lari... lari sama Aminah
Duh duh… Amanah Aminah
Dakwah... dakwah
Kalah sama Aminah

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Buka facebook liatin foto akhwat
Dicari yang mengkilat
Kalo udah dapet ya tinggal sikat
Jurus maut Ikhwan padahal gak jago silat
“Assalammu’alaykum Ukhti, salam ukhuwah... udah kuliah? Suka coklat?”
Disambut baik sama ukhti, mulai berpikir untuk traktir Es Krim Coklat
Akhwatnya terpikat
Mau juga ditraktir secara cepat
Asik, akhirnya bisa jg ikhtilat
yaudah.. langsung TEMBAK CEPAT!
Akhwatnya mau-mau tapi malu bikin penat
badan goyang-goyang kayak ulat
Ikhwannya nyamperin dengan kata-kata yang memikat
Kasusnya sih kebanyakan yang ‘gulat’
Zina pun menjadi hal yang nikmat
Udah pasti dapet laknat
Duh, maksiat... maksiat

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Ilmu nggak seberapa hebat
Udah mengatai Ustadz
Nyadar diri woi lu tuh lulusan pesantren kilat
Baca qur’an tajwid masih perlu banyak ralat
Lho kok udah berani nuduh ustadz
Semoga tuh otaknya dikasih sehat

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Status facebook tiap menit ganti
Isinya tentang isi hati
Buka-bukaan ngincer si wati
Nunjukkin diri kalau lagi patah hati
Minta komen buat dikuatin biar gak mati bunuh diri
Duh duh... status kok bikin ruhiyah mati
Dikemanakan materi yang ustadz sampaikan tadi?

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Ngeliat ikhwan-ikhwan yang lain deket banget sama akhwat mau ikutan
Hidup jadi kayak sendirian di tengah hutan rambutan
Mau ikutan tapi udah tau kayak gitu nggak boleh.. tau dari pengajian
Kepala cenat-cenut kebingungan
Oh kasihan... Mendingan cacingan

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Ngeliat pendakwah akhlaknya kayak preman
Makin bingung nyari teladan
Teladannya bukan lagi idaman
Hidup jadi abu-abu kayak mendungnya awan
Mau jadi putih nggak kuat nahan
Ah biarlah kutumpahkan semua dengan cacian makian
Akhirnya aku ikut-ikutan jadi preman
Teladan pun sekarang ini susah ditemukan

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Diajakain dauroh alasannya segudang
Semangat cuma pas diajak ke warung padang
Atau maen game bola sampe begadang
Mata tidur pas ada lantunan tilawah yang mengundang
Tapi mata kebuka lebar waktu nyicipin lauk rendang
Duh... berdendang

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Bangga disebut ikhwan, hati jadi wah
Tapi jarang banget yang namanya tilawah
Yang ada sering baca komik naruto di depan sawah
Hidup sekarang jadinya agak mewah
Hidup mewah emang sah
Tapi, kesederhanaan yang dulu berakhir sudah

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Dulunya di dakwah banyak amanah
Sekarang katanya berhenti sejenak untuk menyiapkan langkah
Tapi entah kenapa berdiamnya jadi hilang arah
Akhirnya timbul perasaan sudah pernah berdakwah
Merasa lebih senior dan lebih mengerti tentang dakwah
Anak baru dipandang dengan mata sebelah
Akhirnya diam dalam singgasana kenangan dakwah
Dari situ bilang... Dadaaahhh... Saya dulu lebih berat dalam dakwah
Lanjutin perjuangan saya yah

Jadi Ikhwan jangan cengeng
Nggak punya duit jadinya nggak dateng Liqo
Nggak ada motor yaa halaqoh boro-boro
Murabbi ikhlas dibikin melongo
Binaan nggak ada satupun yang ngasih info
Ngeliat binaan malah pada nonton tv liat presenter homo
Adapula yang tidur sambil meluk bantal guling bentuk si komo
Oh noo…

Jadi Ikhwan jangan cengeng…

Jadi Ikhwan jangan cengeng…

Jadi Ikhwan jangan cengeng…

Jadi Ikhwan jangan cengeng…

Jadi Ikhwan jangan cengeng…


Akhi… banyak sekali sebenarnya masalah Ikhwan

Dimanapun harokahnya

Akhi... Di saat engkau tak mengambil bagian dari dakwah ini

Maka akan makin banyak Ikhwan lain yang selalu menangis di saat mereka mengendarai motor... Ia berani menangis karena wajahnya tertutup helm… Ia menangis karena tak kuat menahan beban amanah dakwah..

Akhi... Di saat engkau kecewa oleh orang yang dulunya engkau percaya

Ikhwan-ikhwan lain sebenarnya lebih kecewa dari mu. Mereka menahan dua kekecewaan: kecewa karena orang yang mereka percaya dan kecewa karena tidak diperhatikan lagi olehmu

Tapi mereka tetap bertahan, menahan dua kekecewaan. Karena mereka sadar, kekecewaan adalah hal yang manusiawi. Tapi dakwah harus selalu terukir dalam hati

Akhi... disaat engkau menjauh dari amanah dengan berbagai alasan,

Sebenarnya, banyak ikhwan di luar sana yang alasannya lebih kuat dan masuk akal berkali-kali lipat dari mu. Tapi mereka sadar akan tujuan hidup. Mereka memang punya alasan, tapi mereka tidak beralasan dalam jalan dakwah. Untuk Allah, demi Allah. Mereka, di saat lelah yang sangat, masih menyempatkan diri untuk bangun dari tidurnya untuk tahajjud, bukan untuk meminta sesuatu, tapi mereka menangis, curhat ke Allah, berharap Allah meringankan amanah mereka, mengisi perut mereka yang sering kosong karena uang habis untuk membiayai dakwah

Akhi, sungguh... dakwah ini jalan yang berat... jalan yang terjal...

Rasul berdakwah hingga giginya patah, dilempari batu, dilempari kotoran, diteror, diancam. Dakwah ini berat, akhi. Dakwah ini bukan sebatas teori, tapi pengalaman dan pengamalan

Akhi, jika saudaramu selalu menangis tiap hari...

Bolehkah mereka meminta sedikit bantuanmu? Meminjam bahumu?

Berkumpul dan berjuang bersama-sama?

Agar mereka dapat menyimpan beberapa butir tangisnya, untuk berterima kasih padamu

Juga untuk tangis haru saat mereka bermunajat kepada Allah dalam sepertiga malamnya

“Yaa Allah.. Terimakasih sudah memberi saudara seperjuangan kepadaku... Demi tegaknya Perintah dan laranganMu… Kuatkanlah ikatan kami…”

“Yaa Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta kepada-Mu, bertemu dalam taat kepada-Mu, bersatu dalam da’wah kepada-Mu, berpadu dalam membela syariat-Mu.”

“Yaa Allah, kokohkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukillah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tidak pernah pudar.”

“Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal kepada-Mu. Hidupkanlah hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu. Matikanlah kami dalam keadaan syahid di jalan-Mu.”

“Sesungguhnya Engkaulah Sebaik-baik Pelindung dan Sebaik-baik Penolong.

Yaa Allah, kabulkanlah. Yaa Allah, dan sampaikanlah salam sejahtera kepada junjungan kami, Muhammad SAW, kepada para keluarganya, dan kepada para sahabatnya, limpahkanlah keselamatan untuk mereka.”

Aamiin Allahumma aamiin



Tulisan ini diambil dari chat dengan salah satu kakak kelas terbaik saya di Insan Cendekia. Hendaknya tulisan ini dapat menjadi renungan bagi seluruh ikhwah para pengembang dakwah.

(Gilang AlGhifari Lukman, Fathi Haqqani Fachrudin, Muhammad Taufik, Mujahid Bina Alfikri, Muhammad Ilham, Akmal Reza Ahkam, Muhammad Hafidz Fauzan, Muhammad Helmi Risansyauqi, Muhammad Azka Widyanto, Adam Syammas Zaki, Muhammad Imam Adi Wicaksana, Muhammad Nur Huda, Rifki Muhammad, Muhammad Fadhil, Zidna Qoulan Tsaqila, Febri Rizki Dwi Satriyo Pamungkas, Muhammad Iqbal Alfarisi, Muhammad Fauzan, Izzuddin Baqi, Asror Aryowirawan, dkk)

(Muhammad Naufal Haidar, Khairul Fadhil Andio, Farhan Rifqi Kotsara, Ahmad Yasin Habibi, Muhammad Patu Fakhri Fadlan, Muhammad Azhar Fakhri, Abi Nubli Albajili, Daudi Fathan, Fahrul Muhammad Razi, Muhammad Raihan Albar, Muhammad Iqbal, Dzikra Aulia, Rizky Dhanizar, Muhyiddin Syarif, Adam Muhammad, Muhammad Fathun, Enjang Khoruman AM, Abdurrohman Sidiq, Muhammad Alfian Hilmi Aziezi, Muhammad Fachri Fadhilah, Nugraha Akbar, Fadhila Rahmat Firmansyah, Hilmy Maulana Yusuf, Achmad Yusuf, Salman Yusuf, Muhammad Fathanah, Muqsith Adib Athallah, Fadhil Abdul Ghafar dkk)

Jumat, 06 November 2015

Cerpen: "Surat Merah Jambu"

Jumat, 19 Mei 2023
Kubuka perlahan selembar kertas yang ia berikan padaku tadi pagi. Mulai tampak deretan huruf-huruf dengan tinta biru yang menyala. Tanganku gemetar tak kuasa menahan perasaan ini. Dengan membaca basmalah, kubaca isi surat itu dengan seksama.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Untuk suamiku tercinta,
Belum pernah sebelumnya aku merasa sebahagia ini. Karunia-Nya yang begitu indah, menjadikanku sebagai seorang wanita yang paling mulia. Hari ini, aku menemukan cinta sejatiku. Dan itu adalah Kamu.
Teringat dahulu masa-masa kita di sekolah. Engkau mengirimiku berbelas-belas surat cinta yang aku pun hampir muntah membacanya. Aku tidak pernah membalas surat-suratmu itu, hingga ketika masa kelulusan, aku membalas surat-suratmu dengan satu tulisan saja. Aku masih ingat, ketika itu aku menulis satu syarat agar kamu bisa dekat denganku. Kamu harus hafal Al-Quran. Ya, aku masih ingat itu.
Teringat dahulu masa-masa kita di kampus. Dulu aku dan kamu begitu aktif di kegiatan masing-masing, hingga suatu saat kita pernah dipertemukan di suatu perkumpulan. Dan aku masih ingat, kala itu kamu sedang menjelaskan kepada kawan-kawan mengenai proyek yang akan dijalankan. Namun tiba-tiba pandangan kita bertemu sekilas, sampai-sampai kamu berhenti seketika dan dikagetkan dengan suara teman di sebelahmu. Aku masih ingat, ketika itu aku dan kamu mengikuti kegiatan halaqah masing-masing. Kita sama-sama mempelajari islam lebih dalam dengan terus mengemban misi dakwah yang mulia, hingga pada suatu kesempatan, yang aku yakin itu adalah bagian dari skenario-Nya, kita dipertemukan oleh murabbi kita untuk saling ber-Ta’aruf.
Indah sekali. Semua itu diakhiri dengan hari yang indah ini. Hari dimana kita sama-sama melengkapi separuh dari iman kita. Hari dimana antara kita tidak akan ada lagi jarak yang berarti. Hari dimana dimulainya perjuangan kita berdua dalam kehidupan rumah tangga.
Masih ingat surat yang pernah aku berikan kepadamu ketika masa SMA dulu? Aku senang karena mengetahui bahwa kau telah mampu melaksanakan syarat itu. Dari dulu aku tidak pernah meragukanmu walaupun kau mempunyai sifat yang seperti itu. Tidak pernah sedikitpun dalam benakku terbersit pikiran negatif terhadapmu. Entah mengapa seperti itu.
Aku bahagia. Bahagia sekali. Kini mimpiku terwujud. Memiliki imam shalat yang hafal Al Quran kemudian melantunkannya dengan suara yang merdu. Aku bersyukur kepada Allah telah mengaruniakan dirimu untukku. Wahai suamiku, dengan izin-Nya, aku akan selalu ada di sisimu, selamanya.
Tertanda,
Istrimu.
Terasa ada energi yang mengaliri seluruh tubuhku ketika selesai membaca surat itu. Aku menghela nafas, kemudian tersenyum. Ya, istriku. Hari ini aku juga bahagia. Dengan segenap hati, Insya Allah, aku akan menuntunmu menuju surga-Nya.

Sabtu, 17 Oktober 2022
            Malam minggu seusai halaqah, aku tidak bergegas meninggalkan rumah Ustadz Fadli, murabbi-ku. Ada suatu hal yang penting yang ingin kubicarakan.
            “Ada apa, Ris? Ada masalah di kampus?”
            “Iya, stadz. Masalah batin,” kataku sambil tersenyum.
            “Masya Allah, sepertinya saya sudah bisa menebak apa masalahmu. Soal akhwat, ya?” tebak Ustadz Fadli. Dan tebakannya benar.
            “Wah, Ustadz tahu saja,” jawabku
            “Ayo coba ceritakan.”
            “Begini, Stadz. Dulu Ustadz pernah bilang kepada a’dho Ustadz kalau Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah muda. Selain itu saya juga ingat waktu itu Ustadz pernah bilang kalau menikah itu hukumnya wajib jika seseorang itu sudah mampu dan ingin menghindari zina. Nah, saat ini saya merasa dalam kondisi seperti itu, stadz. Insya Allah saya akan diterima kerja di Rumah Sakit Aria Buana setelah lulus nanti...”
            “Lho? Lalu apa masalahnya kalau begitu?” potong Ustadz Fadli.
            “Belum selesai, Stadz. Justru masalah saya ini adalah yang paling penting. Saya belum punya calonnya, Stadz,” kataku sambil menggaruk-garuk kepala. Seketika Ustadz Fadli tertawa terbahak-bahak selama beberapa detik. Aku hanya terdiam sambil membatin. Apanya yang lucu?
            Kemudian beliau mulai berbicara,
            “Kamu ini, belum lulus saja sudah mikir jauh. Tapi nggak apa-apa, itu tandanya kamu sudah siap untuk menggenapkan separuh imanmu itu. Begini, Faris. Allah itu sudah menuliskan takdir semua orang di buku rahasia-Nya, di Lauh Mahfudz. Setiap manusia telah Allah gariskan rezekinya, takdirnya, sampai jodohnya pun telah Allah tentukan. Tidak ada satu pun dari makhluknya yang mengetahui isi buku tersebut. Nah, kamu, Sayyid Faris Al-Qassam, sudah Allah tuliskan segalanya tentangmu di Lauh Mahfudz itu, termasuk jodohmu. Jadi, jangan khawatir kamu akan kehabisan wanita di muka bumi ini. Insya Allah, orang sepertimu akan mendapatkan yang terbaik.
            “Sebagai bentuk ikhtiar, saya punya kenalan murabbiah yang a’dho-nya juga seusiamu. Nanti akan saya tanyakan kepada beliau, barangkali ada yang cocok buatmu. Siapkan saja Curriculum Vitae-mu beserta pas foto dan kasih ke saya besok pagi, nanti akan saya tukarkan dengan Curriculum Vitae-nya calonmu itu.”
            Seketika mataku berbinar. Tidak kusangka, niatku yang tadinya hanya curhat ternyata berakhir menjadi rezeki. Ustadz Fadli memang top!
            “Terima kasih, stadz. Nanti akan saya siapkan CV-nya. Kapan kira-kira saya bisa berkunjung lagi, stadz?”
            “Senin malam kamu ke rumah saya. Insya Allah sudah ada infonya. Kamu siap-siap saja.”
****
            Senin malam itu aku bergegas menuju ke kediaman Ustadz Fadli. Aku sudah tidak sabar ingin membaca CV-nya. Pikiranku bercampur aduk tak menentu. Ah, semoga saja ini menjadi langkah awal yang baik. Bismillah.
            Setelah mengobrol sebentar, Ustadz Fadli pergi menuju ke kamarnya dan kembali lagi sambil membawa sebuah map berwarna abu-abu. Kemudian ia menyerahkan map itu padaku. Dengan membaca basmalah, kubuka perlahan map abu-abu itu. Kemudian kubaca sebuah nama yang tertera di kertas itu.
            Deg! Seketika aku tersentak ketika membaca nama itu. Naila Khumaira Fatimah. Kemudian aku mengucek mata. Tidak berubah. Tetap kertas itu bertuliskan Naila Khumaira Fatimah.
            “Ris, kamu kenapa? Jangan bengong gitu, dong.”
            Tiba-tiba aku teringat surat berwarna merah muda yang masih kusimpan di dalam lemariku.

Kamis, 18 Oktober 2018
            Kulihat pagi ini begitu hangat menyapaku. Burung-burung bersenandung seakan membentuk alunan melodi yang merdu. Terlihat beberapa titik-titik air di permukaan daun karena sisa-sisa hujan tadi malam. Sinar hangat sang Surya seakan menambah energiku untuk memulai aktivitas hari ini. Setelah sarapan dan berpamitan dengan Bu Tinah, ibu kosku, aku pun berangkat menuju kampus.
            Siang ini akan ada pertemuan seluruh mahasiswa kedokteran se-pulau Jawa untuk membahas sebuah proyek besar di tahun ini, yaitu program penyuluhan kesehatan di lima ratus desa. Aku ditunjuk sebagai koodinator bidang acara yang mengurus jalannya acara serta menentukan desa mana saja yang akan dikunjungi. Aku berada di bagian ini dengan dibantu oleh tiga orang temanku, yaitu Syamil, Jihad, dan Wali. Sebelum rapat dimulai, kami menyusun terlebih dahulu poin-poin yang akan kami diskusikan di pertemuan siang nanti.
            Di pertemuan ini, masing-masing koordinator bidang secara harus berdiri untuk menjelaskan progress yang sudah dilakukan. Setelah bendahara membacakan laporan keuangan, kini giliranku untuk menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan acara.
            “Baik. Disini kami dari bidang acara telah membuat alur registrasi peserta penyuluhan di tiap desa. Bisa dilihat di slide ini, para peserta penyuluhan masuk untuk melakukan registrasi. Di meja registrasi cukup ada empat orang. Kemudian peserta penyuluhan mengambil nomor antrean dan diarahkan untuk segera menempati tempat yang tersedia. Sambil menunggu nomornya dipanggil, peserta penyuluhan dapat mengikuti presentasi yang diselenggarakan di panggung utama. Kemudian untuk desa-desa yang akan dikunjungi, kami telah memilih dua ratus desa yang menjadi prioritas utama karena kondisinya yang sangat memprihatinkan. Berikut adalah daftar desa-desa tersebut,” kemudian aku berhenti sejenak untuk memperlihatkan daftar yang ada di slide. “Baiklah, cukup sekian presentasi dari kami. Terima kasih.”
            Usai pertemuan, aku bersama Syamil, Jihad, dan Wali pergi ke kantin kampus untuk mengisi perut kami yang sudah kosong. Setelah memesan mie ayam dan es teh manis, kami duduk di salah satu meja bagian pojok. Kemudian Wali membuka pembicaraan.
            “Eh, lu tau nggak tadi ada bidadari cantik pas kita lagi ngumpul,”
            “Serius lu? Anak mana dia?” Syamil penasaran.
            “Katanya sih anak Undip, tapi nggak tahu juga. Tadi dia pake kerudung warna biru langit gitu. Cantik deh pokoknya,” dengan semangat Wali menjelaskan.
            Aku hanya diam memerhatikan obrolan mereka. Ah, dasar jomblo, batinku.
“Lu tau nggak siapa namanya? Percuma aja lu ngasih tau kita info itu kalau lu nggak tau namanya,” tanya Jihad kepada Wali.
            “Yah, jangankan nama, akun facebook-nya aja gua dapet!” kata Syamil dengan gaya angkuhnya.
            “Hah? Serius?” Syamil dan Jihad penasaran.
            “Nih, liat,” kata Wali sambil menunjukkan laptopnya.
            “Naila Khumaira Fatimah. Wih, namanya bagus! Pasti orangnya juga bagus!” seru Jihad.
            Deg! Seketika dadaku terasa sesak. Sepertinya aku kenal nama itu. Nama itu pernah menjadi bayang-bayang dalam benakku. Nama itu juga pernah kutulis menjadi sebuah puisi. Ya, aku kenal nama itu. Naila Khumaira Fatimah. Dia adalah teman SMA-ku dulu.
Dan surat merah muda itu masih tersimpan di dalam lemariku.
           
Selasa, 3 November 2015
            “Cieee... nulis surat lagi. Emang bakal dibales?”
            “Udahlah, Ris. Cinta lu tuh bertepuk sebelah tangan. Hahaha...”
            Yah, begitulah teman-temanku. Mereka selalu saja menggangguku ketika aku sedang menulis ini. Walaupun telah berpuluh surat aku tuliskan untuknya sejak masa kelas satu dulu, tak ada satu pun surat yang pernah dibalasnya. Isi surat itu memang bermacam-macam. Kadang aku menulisnya hanya untuk sekadar iseng, menanyakan pelajaran, atau curhat. Yang paling banyak adalah tentang perihal gombal-menggombali, dan itu sudah aku tinggalkan sejak kelas satu semester dua dahulu. Meskipun begitu, aku tak akan menyerah. Aku akan terus menulis surat untuknya dan menunggu balasan darinya, hingga aku lulus nanti.
            Tidak seperti biasanya, hari itu kami pulang lebih cepat karena ada rapat guru mendadak. Dengan santai, aku merapikan barang-barangku dan bergegas pulang ke asrama. Ketika memeriksa kolong meja, tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas berwarna merah muda yang terlipat rapi. Hatiku berdegup kencang. Belum pernah aku mendapat surat semacam ini sebelumnya. Kemudian aku balik kertas itu dan menemukan sebuah tulisan: Faris.
****
            Di tengah keheningan malam yang sejuk, aku mendirikan shalat Tahajjud di kamar. Suasananya begitu nyaman dan syahdu. Terdengar suara-suara jangkrik dari jendela kamar menemaniku yang sedang sendiri.
            Seusai shalat, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Surat merah jambu itu. Langsung saja aku merogoh tasku dan membaca surat itu. Surat pertama yang aku dapatkan secara misterius.
            Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
            Untuk Faris,
            Aku minta maaf telah menaruh surat itu di kolong mejamu tanpa izin sewaktu istirahat tadi. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa semua surat yang kamu berikan padaku masih kusimpan rapi di meja belajarku.
            Selama ini aku sadar bahwa kamu sudah sejak lama memperhatikanku. Dan terus terang saja, aku merasa kurang nyaman dengan perlakuanmu itu. Sebenarnya itu hanya akan memperlebar jarak antara kita saja. Seharusnya kamu berlaku biasa saja, tidak usah dilebih-lebihkan seperti itu.
            Karena sudah kelas tiga, maka aku memintamu untuk berhenti menulis surat untukku. Itu hanya akan menganggu pikiranmu saja. Aku hanya khawatir bahwa hal ini akan mengganggu belajarmu dan belajarku. Apalagi kita akan menghadapi berbagai ujian di tahun ini. Aku minta maaf jika hal ini menyinggungmu. Aku hanya ingin kita semua lulus bersama-sama. Itu saja.
            Faris, kamu boleh dekat denganku. Bahkan lebih dekat daripada teman-temanku. Tapi ada satu syarat yang harus kamu penuhi. Kamu harus menjadi Hafidz Al Quran, kemudian melantunkannya dengan indah. Itu saja.
            Aku harap surat ini dapat kamu terima dengan baik. Sekali lagi aku minta maaf jika ini menyinggung perasaanmu. Terima kasih kamu sudah peduli padaku hingga saat ini.
Tertanda,
Naila

            Aku menarik napas panjang. Aku tidak menyangka ternyata surat merah jambu ini menjadi surat balasan yang selama ini aku tunggu. Syarat itu. Syarat itu akan menjadi tantangan yang akan aku selesaikan.

Cerita ini dibuat sebagai bagian dari proyek pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu membuat cerita pendek se-angkatan. Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Kamis, 17 September 2015

"Setiap Orang Punya Cara Masing-Masing" (2)

20.45 WIB. Kamis, 4 Dzulhijjah 1436 H - Lagi duduk di CSA, MAN Insan Cendekia Serpong

....

Singkat cerita, sang koordinator Divisi Lingkungan pun mengeluh kepada Adam. Sebuah keluhan yang agak menyindir secara keseluruhan.

"Kak, kok angkatan lu gitu sih? Sebagai kelas tiga harusnya mencontohkan yang baik dong. Apalagi yang ngelakuinnya adalah seorang pemimpin."

Begitulah kurang lebih percakapannya dengan Adam. Dan Adam sendiri tidak bisa berkata banyak.

Sebenarnya masalahnya menjadi agak rumit ketika sudah menyebut-nyebut angkatan. Dan ini merupakan bagian dari efek yang ditimbulkan. Seperti majas pars pro toto, sebagian berlaku untuk seluruhnya. Yang melakukan satu orang, tapi ternyata berefek juga pada yang lain. Tetapi kali ini saya tidak akan membahas itu.

Ada satu hal yang tertinggal ketika kita berbicara tentang 'Cara', yaitu sebuah Konsekuensi. Ternyata satu hal inilah yang nanti akan berpengaruh terhadap lingkungan sekitar. Bisa jadi menguntungkan, bisa juga merugikan. Konsekuensi inilah yang seharusnya kita pertimbangkan sebelum kita melakukan 'cara' kita. Akan jauh lebih baik jika apa yang kita lakukan dapat menjadi sebuah kebaikan bagi orang lain.

Seorang teman pernah berbicara kurang lebih seperti ini,

"Nasihat itu seperti mutiara. Setiap orang pasti menganggap sebuah mutiara itu adalah sesuatu yang berharga. Bayangkan ada seseorang yang hendak memberikan sebuah mutiara kepada kita. Kita cermati 'cara' orang itu memberikan mutiaranya kepada kita. Bisa jadi ia memberikannya dengan lembut, bisa jadi ia memberikannya dengan tergesa-gesa, bisa juga ia memberikannya dengan melemparkannya hingga terkena wajah kita. Apapun 'cara'nya, apa yang diberikannya kepada kita tetaplah sebuah mutiara."

Memang cukup menarik jika kita mengamati 'cara' seseorang dalam menyampaikan kebaikan. Dari situ kita sadar bahwa kita masih hidup bersama orang-orang yang baik. Semoga dengan adanya kita di lingkungan yang baik, maka diri kita akan terbawa pula untuk menjadi pribadi yang lebih baik.


Kamis, 10 September 2015

"Setiap Orang Punya Cara Masing-masing"

20.36 WIB, Kamis 24 Dzulqa'dah 1436 H - Gedung F, MAN Insan Cendekia Serpong

"Cara elu ngehargain orang ngga gini, Baq!"
"Kaga, Dam. Gua udah ngomong sebelumnya. Gua beda sama elu, dan ini cara gua, Dam!"

Kurang lebih seperti itulah percakapan yang saya dengar dari kedua teman terbaik saya, Adam Syammas Zaki dan Izzuddin Baqi, selepas tilawah bersama se-angkatan. Mereka mempermasalahkan indikator Checklist kamar yang ditempel oleh Divisi Lingkungan untuk mengecek kebersihan kamar. Izzuddin Baqi, sang pemilik kamar, merobek indikator Checklist tersebut karena kesal kamarnya yang sudah tertata rapi tapi masih juga kena Checklist. Adam Syammas Zaki, yang tidak suka dengan sikap Izzuddin Baqi tersebut, langsung mengingatkannya dan terjadilah percakapan di atas. Ketika itu saya sedang berada di tengah-tengah mereka berdua.

Bukan masalahnya yang saya cermati, tapi substansi dari percakapan mereka berdua. Mereka membicarakan tentang "Cara".

Menyampaikan kebaikan sebenarnya merupakan suatu hal yang menurut saya sangat mulia. Butuh keberanian dan keterampilan dalam melakukannya. Dan untuk menguasai hal itu, kita mesti belajar. Sebuah kebaikan yang kita sampaikan kepada orang lain, belum tentu orang lain itu akan menerimanya dengan baik. Kita butuh sebuah 'cara' agar hal-hal baik yang kita sampaikan dapat diterima oleh orang tersebut. 

Dan cara itu cukup kita cari di dalam diri kita sendiri.

Saya tidak akan membahas 'cara' milik Adam maupun Baqi. Saya hanya ingin menyampaikan apresisasi saya terhadap mereka berdua yang punya idealisme yang tinggi. Dan saya yakin, mereka sudah menemukan 'cara' mereka masing-masing.

Intinya, hendaknya kita punya keinginan untuk saling mengingatkan satu sama lain, agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.

"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang saling nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Ashr: 3)




Adam (kiri) dan Baqi (kanan) - Idealisme berbeda, namun tetap satu cita



Rabu, 05 Agustus 2015

KSM & AKSIOMA: Bertarung Dimana Saja

KSM & AKSIOMA, Palembang 3 - 7 Agustus 2015

Mengikuti sebuah kompetisi adalah sebuah hal yang menarik. Suasana dan ritme yang ada di sekitar merupakan tantangan tersendiri bagi raga ini. Melihat kobaran semangat dan usaha tanpa henti dari para kompetitor lain, membuat diri ini seakan ditarik untuk memasuki arena pertarungan.
Hidup ini sejatinya adalah pertarungan. Masing-masing dari kita telah dipersiapkan Allah swt dengan sangat baik untuk menghadapi segala halangan dan rintangan dalam hidup. Jiwa-jiwa petarung telah Allah swt tanamkan dalam diri kita masing-masing. Tinggal kita memilih, ingin terus maju ke medan pertempuran, atau hanya diam tanpa tahu apa yang akan kita hadapi di masa depan.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya." (QS At-Tin: 4)
Mari kita buat diri ini, menjadi seorang petarung yang tangguh dan kuat!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
At Wisma Atlet Jakabaring

Sabtu, 27 September 2014

Indonesia Tetap Satu

Monumen Kresek namanya. Monumen bersejarah ini merupakan peninggalan dan sebagai saksi bisu atas peristiwa tragis di Madiun. Ya, peristiwa tentang keganasan PKI tahun 1948. Monumen dan relief ini berada 8 km ke arah timur dari kota Madiun dengan luas 2 hektar.

Tidak jauh dari monumen ini juga terdapat prasasti batu yang mengukir nama-nama prajurit TNI dan para pamong desa yang gugur dalam pertempuran melawan PKI di desa Kresek. Kolonel Marhadi adalah salah satu prajurit TNI berpangkat tinggi yang gugur dalam pertempuran. Namanya lalu diabadikan menjadi salah satu nama jalan di kota Madiun dan didirikan pula patungnya di alun-alun kota sebagai bentuk penghormatan. Di sebelah utara monumen kresek terdapat monumen kecil yang terbuat dari batu, mengukir nama-nama prajurit TNI dan para pamong desa yang dibantai oleh PKI.

Di kawasan ini terdapat sebuah dinding sepanjang dua meter yang bertuliskan nama-nama korban keganasan PKI yang berjumlah 17 orang, lengkap dengan patung mayat-mayat bergelimpangan di sampingnya. Di dekat dinding tersebut terdapat sebuah pendapa berukuran sekitar enam kali dua meter persegi dengan keramik warna hitam. Di sinilah terlihat dengan jelas dua kelompok patung utama di monumen ini. Dua patung tersebut dibangun di atas tebing dan dapat dicapai dengan menaiki tangga yang tidak terlalu tinggi namun cukup luas. 

Patung yang pertama berupa enam orang anak yang sedang berdiri. Dengan melihat bahasa tubuh dan raut muka, bisa disimpulkan bahwa keenam anak ini sangat ceria dengan senyum yang tersungging di bibir polosnya. Tepat di bawah sebelah kanan patung ini terdapat sebuah kolam yang cukup luas namun terlihat tak terawat.

Patung yang kedua terletak di sebelah kiri patung enam anak, yaitu patung yang menggambarkan adegan seorang pria bertubuh besar, kumis tebal, dan bermuka bengis sedang mengayunkan pedangnya ke leher seorang tua yang sedang berlutut. Orang tua ini terlihat mengenakan sarung, sorban, dan kopiah. Patung ini dianggap paling provokatif dan paling banyak mengandung pesan. Patung ini menunjukkan betapa maraknya diskriminasi dari pihak PKI terhadap para pemuka agama, khususnya agama islam yang menentang ideologi mereka. 




Setitik pesan yang bisa kita ambil dari monumen tersebut adalah bagaimana Indonesia dengan sekian banyak keyakinan, ideologi, dan agama, bisa tetap mempertahankan kesatuannya. Peristiwa yang terjadi lima dekade terakhir tidak menjadikan Indonesia berpecah belah menjadi beberapa bagian. Namun justru dengan peristiwa itu, Indonesia terus berusaha meningkatkan persatuannya dan terus menjaga keutuhan bangsa. Maka tidak sia-sialah perjuangan para pahlawan untuk menyatukan negeri ini. Indonesia tetap bersatu. Indonesia Merdeka!


Selasa, 16 September 2014

Surat dari Para Raja

Selama lebih dari empat ratus tahun Indonesia telah beralih dari kehidupan feodal menuju republik. Dahulu, hampir seluruh wilayah Indonesia dikuasai oleh berbagai kerajaan, baik kerajaan Hindu-Buddha maupun kerajaan Islam. Berbagai kebudayaan dan nilai-nilai sosial tercipta, bahkan ada yang terwariskan hingga sekarang.

Saat itu, hubungan diplomatis antar kerajaan dapat dicapai melalui berbagai media, contohnya surat. Surat-surat yang dikirimkan merupakan sarana komunikasi antar raja-raja di kepulauan Indonesia, atau raja-raja di kepulauan Indonesia dengan raja, pembesar, dan pedagang dari mancanegara. Surat-surat dikirim melalui berbagai bahasa.

Hal menarik yang bisa kita lihat dari pengiriman surat ini adalah wujud dari surat tersebut. Surat-surat itu dikirim dengan tampilan yang menarik. Kebanyakan surat terbuat dari emas. Surat-surat tersebut ditulis, dihias, dan disunggingi dengan keterampilan dan ketelitian yang sangat tinggi, mencerminkan derajat dan martabat pengirimnya.

Salah satu contoh surat tertua dan terindah yang pernah dikirim adalah surat yang ditulis oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh pada tahun 1615, yang ditujukan kepada Raja James I. Selain bahasanya yang indah, tiga perempat bagian surat ini menggambarkan tentang kebesaran, kekayaan, dan kemegahan wilaah Sultan Aceh. Pada bagian pokok surat, Sultan dengan halus menolak permohonan Inggris untuk berdagang dan tinggal di Tiku dan Pariaman karena negeri itu adalah negeri dusun. Solusinya, Sultan mengundang Inggris untuk berdagang hanya di wilayah Aceh.

Tidak hanya tulisan dan bahasanya yang indah, namun ukuran surat tersebut hampir mencapai satu meter. Hiasannya memperlihatkan adanya pengaruh Otoman-Turki (motif Bunga dan Madat) dan Safavi-Iran (dalam Unwan berbentuk kubah berwarna biru), namun dengan penafsiran khas pribumi. Kalimat-kalimatnya ditulis dengan rapi di atas kertas yang telah ditaburi butiran emas.

Nilai yang dapat diambil dari hal ini adalah kita bisa memetik sifat kearifan dari perbandingan apa yang telah terjadi di masa lalu dan masa sekarang. Bagaimana ketika dahulu para raja dengan sopan dan halusnya mengadakan hubungan diplomasi dengan raja lain tanpa adanya sebuah peperangan di akhirnya.

sumber : http://www.indonesiaheritage.org/ind/berita/detail/38/surat-emas-raja-raja-nusantara