Jumat, 06 November 2015

Cerpen: "Surat Merah Jambu"

Jumat, 19 Mei 2023
Kubuka perlahan selembar kertas yang ia berikan padaku tadi pagi. Mulai tampak deretan huruf-huruf dengan tinta biru yang menyala. Tanganku gemetar tak kuasa menahan perasaan ini. Dengan membaca basmalah, kubaca isi surat itu dengan seksama.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Untuk suamiku tercinta,
Belum pernah sebelumnya aku merasa sebahagia ini. Karunia-Nya yang begitu indah, menjadikanku sebagai seorang wanita yang paling mulia. Hari ini, aku menemukan cinta sejatiku. Dan itu adalah Kamu.
Teringat dahulu masa-masa kita di sekolah. Engkau mengirimiku berbelas-belas surat cinta yang aku pun hampir muntah membacanya. Aku tidak pernah membalas surat-suratmu itu, hingga ketika masa kelulusan, aku membalas surat-suratmu dengan satu tulisan saja. Aku masih ingat, ketika itu aku menulis satu syarat agar kamu bisa dekat denganku. Kamu harus hafal Al-Quran. Ya, aku masih ingat itu.
Teringat dahulu masa-masa kita di kampus. Dulu aku dan kamu begitu aktif di kegiatan masing-masing, hingga suatu saat kita pernah dipertemukan di suatu perkumpulan. Dan aku masih ingat, kala itu kamu sedang menjelaskan kepada kawan-kawan mengenai proyek yang akan dijalankan. Namun tiba-tiba pandangan kita bertemu sekilas, sampai-sampai kamu berhenti seketika dan dikagetkan dengan suara teman di sebelahmu. Aku masih ingat, ketika itu aku dan kamu mengikuti kegiatan halaqah masing-masing. Kita sama-sama mempelajari islam lebih dalam dengan terus mengemban misi dakwah yang mulia, hingga pada suatu kesempatan, yang aku yakin itu adalah bagian dari skenario-Nya, kita dipertemukan oleh murabbi kita untuk saling ber-Ta’aruf.
Indah sekali. Semua itu diakhiri dengan hari yang indah ini. Hari dimana kita sama-sama melengkapi separuh dari iman kita. Hari dimana antara kita tidak akan ada lagi jarak yang berarti. Hari dimana dimulainya perjuangan kita berdua dalam kehidupan rumah tangga.
Masih ingat surat yang pernah aku berikan kepadamu ketika masa SMA dulu? Aku senang karena mengetahui bahwa kau telah mampu melaksanakan syarat itu. Dari dulu aku tidak pernah meragukanmu walaupun kau mempunyai sifat yang seperti itu. Tidak pernah sedikitpun dalam benakku terbersit pikiran negatif terhadapmu. Entah mengapa seperti itu.
Aku bahagia. Bahagia sekali. Kini mimpiku terwujud. Memiliki imam shalat yang hafal Al Quran kemudian melantunkannya dengan suara yang merdu. Aku bersyukur kepada Allah telah mengaruniakan dirimu untukku. Wahai suamiku, dengan izin-Nya, aku akan selalu ada di sisimu, selamanya.
Tertanda,
Istrimu.
Terasa ada energi yang mengaliri seluruh tubuhku ketika selesai membaca surat itu. Aku menghela nafas, kemudian tersenyum. Ya, istriku. Hari ini aku juga bahagia. Dengan segenap hati, Insya Allah, aku akan menuntunmu menuju surga-Nya.

Sabtu, 17 Oktober 2022
            Malam minggu seusai halaqah, aku tidak bergegas meninggalkan rumah Ustadz Fadli, murabbi-ku. Ada suatu hal yang penting yang ingin kubicarakan.
            “Ada apa, Ris? Ada masalah di kampus?”
            “Iya, stadz. Masalah batin,” kataku sambil tersenyum.
            “Masya Allah, sepertinya saya sudah bisa menebak apa masalahmu. Soal akhwat, ya?” tebak Ustadz Fadli. Dan tebakannya benar.
            “Wah, Ustadz tahu saja,” jawabku
            “Ayo coba ceritakan.”
            “Begini, Stadz. Dulu Ustadz pernah bilang kepada a’dho Ustadz kalau Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah muda. Selain itu saya juga ingat waktu itu Ustadz pernah bilang kalau menikah itu hukumnya wajib jika seseorang itu sudah mampu dan ingin menghindari zina. Nah, saat ini saya merasa dalam kondisi seperti itu, stadz. Insya Allah saya akan diterima kerja di Rumah Sakit Aria Buana setelah lulus nanti...”
            “Lho? Lalu apa masalahnya kalau begitu?” potong Ustadz Fadli.
            “Belum selesai, Stadz. Justru masalah saya ini adalah yang paling penting. Saya belum punya calonnya, Stadz,” kataku sambil menggaruk-garuk kepala. Seketika Ustadz Fadli tertawa terbahak-bahak selama beberapa detik. Aku hanya terdiam sambil membatin. Apanya yang lucu?
            Kemudian beliau mulai berbicara,
            “Kamu ini, belum lulus saja sudah mikir jauh. Tapi nggak apa-apa, itu tandanya kamu sudah siap untuk menggenapkan separuh imanmu itu. Begini, Faris. Allah itu sudah menuliskan takdir semua orang di buku rahasia-Nya, di Lauh Mahfudz. Setiap manusia telah Allah gariskan rezekinya, takdirnya, sampai jodohnya pun telah Allah tentukan. Tidak ada satu pun dari makhluknya yang mengetahui isi buku tersebut. Nah, kamu, Sayyid Faris Al-Qassam, sudah Allah tuliskan segalanya tentangmu di Lauh Mahfudz itu, termasuk jodohmu. Jadi, jangan khawatir kamu akan kehabisan wanita di muka bumi ini. Insya Allah, orang sepertimu akan mendapatkan yang terbaik.
            “Sebagai bentuk ikhtiar, saya punya kenalan murabbiah yang a’dho-nya juga seusiamu. Nanti akan saya tanyakan kepada beliau, barangkali ada yang cocok buatmu. Siapkan saja Curriculum Vitae-mu beserta pas foto dan kasih ke saya besok pagi, nanti akan saya tukarkan dengan Curriculum Vitae-nya calonmu itu.”
            Seketika mataku berbinar. Tidak kusangka, niatku yang tadinya hanya curhat ternyata berakhir menjadi rezeki. Ustadz Fadli memang top!
            “Terima kasih, stadz. Nanti akan saya siapkan CV-nya. Kapan kira-kira saya bisa berkunjung lagi, stadz?”
            “Senin malam kamu ke rumah saya. Insya Allah sudah ada infonya. Kamu siap-siap saja.”
****
            Senin malam itu aku bergegas menuju ke kediaman Ustadz Fadli. Aku sudah tidak sabar ingin membaca CV-nya. Pikiranku bercampur aduk tak menentu. Ah, semoga saja ini menjadi langkah awal yang baik. Bismillah.
            Setelah mengobrol sebentar, Ustadz Fadli pergi menuju ke kamarnya dan kembali lagi sambil membawa sebuah map berwarna abu-abu. Kemudian ia menyerahkan map itu padaku. Dengan membaca basmalah, kubuka perlahan map abu-abu itu. Kemudian kubaca sebuah nama yang tertera di kertas itu.
            Deg! Seketika aku tersentak ketika membaca nama itu. Naila Khumaira Fatimah. Kemudian aku mengucek mata. Tidak berubah. Tetap kertas itu bertuliskan Naila Khumaira Fatimah.
            “Ris, kamu kenapa? Jangan bengong gitu, dong.”
            Tiba-tiba aku teringat surat berwarna merah muda yang masih kusimpan di dalam lemariku.

Kamis, 18 Oktober 2018
            Kulihat pagi ini begitu hangat menyapaku. Burung-burung bersenandung seakan membentuk alunan melodi yang merdu. Terlihat beberapa titik-titik air di permukaan daun karena sisa-sisa hujan tadi malam. Sinar hangat sang Surya seakan menambah energiku untuk memulai aktivitas hari ini. Setelah sarapan dan berpamitan dengan Bu Tinah, ibu kosku, aku pun berangkat menuju kampus.
            Siang ini akan ada pertemuan seluruh mahasiswa kedokteran se-pulau Jawa untuk membahas sebuah proyek besar di tahun ini, yaitu program penyuluhan kesehatan di lima ratus desa. Aku ditunjuk sebagai koodinator bidang acara yang mengurus jalannya acara serta menentukan desa mana saja yang akan dikunjungi. Aku berada di bagian ini dengan dibantu oleh tiga orang temanku, yaitu Syamil, Jihad, dan Wali. Sebelum rapat dimulai, kami menyusun terlebih dahulu poin-poin yang akan kami diskusikan di pertemuan siang nanti.
            Di pertemuan ini, masing-masing koordinator bidang secara harus berdiri untuk menjelaskan progress yang sudah dilakukan. Setelah bendahara membacakan laporan keuangan, kini giliranku untuk menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan acara.
            “Baik. Disini kami dari bidang acara telah membuat alur registrasi peserta penyuluhan di tiap desa. Bisa dilihat di slide ini, para peserta penyuluhan masuk untuk melakukan registrasi. Di meja registrasi cukup ada empat orang. Kemudian peserta penyuluhan mengambil nomor antrean dan diarahkan untuk segera menempati tempat yang tersedia. Sambil menunggu nomornya dipanggil, peserta penyuluhan dapat mengikuti presentasi yang diselenggarakan di panggung utama. Kemudian untuk desa-desa yang akan dikunjungi, kami telah memilih dua ratus desa yang menjadi prioritas utama karena kondisinya yang sangat memprihatinkan. Berikut adalah daftar desa-desa tersebut,” kemudian aku berhenti sejenak untuk memperlihatkan daftar yang ada di slide. “Baiklah, cukup sekian presentasi dari kami. Terima kasih.”
            Usai pertemuan, aku bersama Syamil, Jihad, dan Wali pergi ke kantin kampus untuk mengisi perut kami yang sudah kosong. Setelah memesan mie ayam dan es teh manis, kami duduk di salah satu meja bagian pojok. Kemudian Wali membuka pembicaraan.
            “Eh, lu tau nggak tadi ada bidadari cantik pas kita lagi ngumpul,”
            “Serius lu? Anak mana dia?” Syamil penasaran.
            “Katanya sih anak Undip, tapi nggak tahu juga. Tadi dia pake kerudung warna biru langit gitu. Cantik deh pokoknya,” dengan semangat Wali menjelaskan.
            Aku hanya diam memerhatikan obrolan mereka. Ah, dasar jomblo, batinku.
“Lu tau nggak siapa namanya? Percuma aja lu ngasih tau kita info itu kalau lu nggak tau namanya,” tanya Jihad kepada Wali.
            “Yah, jangankan nama, akun facebook-nya aja gua dapet!” kata Syamil dengan gaya angkuhnya.
            “Hah? Serius?” Syamil dan Jihad penasaran.
            “Nih, liat,” kata Wali sambil menunjukkan laptopnya.
            “Naila Khumaira Fatimah. Wih, namanya bagus! Pasti orangnya juga bagus!” seru Jihad.
            Deg! Seketika dadaku terasa sesak. Sepertinya aku kenal nama itu. Nama itu pernah menjadi bayang-bayang dalam benakku. Nama itu juga pernah kutulis menjadi sebuah puisi. Ya, aku kenal nama itu. Naila Khumaira Fatimah. Dia adalah teman SMA-ku dulu.
Dan surat merah muda itu masih tersimpan di dalam lemariku.
           
Selasa, 3 November 2015
            “Cieee... nulis surat lagi. Emang bakal dibales?”
            “Udahlah, Ris. Cinta lu tuh bertepuk sebelah tangan. Hahaha...”
            Yah, begitulah teman-temanku. Mereka selalu saja menggangguku ketika aku sedang menulis ini. Walaupun telah berpuluh surat aku tuliskan untuknya sejak masa kelas satu dulu, tak ada satu pun surat yang pernah dibalasnya. Isi surat itu memang bermacam-macam. Kadang aku menulisnya hanya untuk sekadar iseng, menanyakan pelajaran, atau curhat. Yang paling banyak adalah tentang perihal gombal-menggombali, dan itu sudah aku tinggalkan sejak kelas satu semester dua dahulu. Meskipun begitu, aku tak akan menyerah. Aku akan terus menulis surat untuknya dan menunggu balasan darinya, hingga aku lulus nanti.
            Tidak seperti biasanya, hari itu kami pulang lebih cepat karena ada rapat guru mendadak. Dengan santai, aku merapikan barang-barangku dan bergegas pulang ke asrama. Ketika memeriksa kolong meja, tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas berwarna merah muda yang terlipat rapi. Hatiku berdegup kencang. Belum pernah aku mendapat surat semacam ini sebelumnya. Kemudian aku balik kertas itu dan menemukan sebuah tulisan: Faris.
****
            Di tengah keheningan malam yang sejuk, aku mendirikan shalat Tahajjud di kamar. Suasananya begitu nyaman dan syahdu. Terdengar suara-suara jangkrik dari jendela kamar menemaniku yang sedang sendiri.
            Seusai shalat, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Surat merah jambu itu. Langsung saja aku merogoh tasku dan membaca surat itu. Surat pertama yang aku dapatkan secara misterius.
            Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
            Untuk Faris,
            Aku minta maaf telah menaruh surat itu di kolong mejamu tanpa izin sewaktu istirahat tadi. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa semua surat yang kamu berikan padaku masih kusimpan rapi di meja belajarku.
            Selama ini aku sadar bahwa kamu sudah sejak lama memperhatikanku. Dan terus terang saja, aku merasa kurang nyaman dengan perlakuanmu itu. Sebenarnya itu hanya akan memperlebar jarak antara kita saja. Seharusnya kamu berlaku biasa saja, tidak usah dilebih-lebihkan seperti itu.
            Karena sudah kelas tiga, maka aku memintamu untuk berhenti menulis surat untukku. Itu hanya akan menganggu pikiranmu saja. Aku hanya khawatir bahwa hal ini akan mengganggu belajarmu dan belajarku. Apalagi kita akan menghadapi berbagai ujian di tahun ini. Aku minta maaf jika hal ini menyinggungmu. Aku hanya ingin kita semua lulus bersama-sama. Itu saja.
            Faris, kamu boleh dekat denganku. Bahkan lebih dekat daripada teman-temanku. Tapi ada satu syarat yang harus kamu penuhi. Kamu harus menjadi Hafidz Al Quran, kemudian melantunkannya dengan indah. Itu saja.
            Aku harap surat ini dapat kamu terima dengan baik. Sekali lagi aku minta maaf jika ini menyinggung perasaanmu. Terima kasih kamu sudah peduli padaku hingga saat ini.
Tertanda,
Naila

            Aku menarik napas panjang. Aku tidak menyangka ternyata surat merah jambu ini menjadi surat balasan yang selama ini aku tunggu. Syarat itu. Syarat itu akan menjadi tantangan yang akan aku selesaikan.

Cerita ini dibuat sebagai bagian dari proyek pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu membuat cerita pendek se-angkatan. Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Kamis, 17 September 2015

"Setiap Orang Punya Cara Masing-Masing" (2)

20.45 WIB. Kamis, 4 Dzulhijjah 1436 H - Lagi duduk di CSA, MAN Insan Cendekia Serpong

....

Singkat cerita, sang koordinator Divisi Lingkungan pun mengeluh kepada Adam. Sebuah keluhan yang agak menyindir secara keseluruhan.

"Kak, kok angkatan lu gitu sih? Sebagai kelas tiga harusnya mencontohkan yang baik dong. Apalagi yang ngelakuinnya adalah seorang pemimpin."

Begitulah kurang lebih percakapannya dengan Adam. Dan Adam sendiri tidak bisa berkata banyak.

Sebenarnya masalahnya menjadi agak rumit ketika sudah menyebut-nyebut angkatan. Dan ini merupakan bagian dari efek yang ditimbulkan. Seperti majas pars pro toto, sebagian berlaku untuk seluruhnya. Yang melakukan satu orang, tapi ternyata berefek juga pada yang lain. Tetapi kali ini saya tidak akan membahas itu.

Ada satu hal yang tertinggal ketika kita berbicara tentang 'Cara', yaitu sebuah Konsekuensi. Ternyata satu hal inilah yang nanti akan berpengaruh terhadap lingkungan sekitar. Bisa jadi menguntungkan, bisa juga merugikan. Konsekuensi inilah yang seharusnya kita pertimbangkan sebelum kita melakukan 'cara' kita. Akan jauh lebih baik jika apa yang kita lakukan dapat menjadi sebuah kebaikan bagi orang lain.

Seorang teman pernah berbicara kurang lebih seperti ini,

"Nasihat itu seperti mutiara. Setiap orang pasti menganggap sebuah mutiara itu adalah sesuatu yang berharga. Bayangkan ada seseorang yang hendak memberikan sebuah mutiara kepada kita. Kita cermati 'cara' orang itu memberikan mutiaranya kepada kita. Bisa jadi ia memberikannya dengan lembut, bisa jadi ia memberikannya dengan tergesa-gesa, bisa juga ia memberikannya dengan melemparkannya hingga terkena wajah kita. Apapun 'cara'nya, apa yang diberikannya kepada kita tetaplah sebuah mutiara."

Memang cukup menarik jika kita mengamati 'cara' seseorang dalam menyampaikan kebaikan. Dari situ kita sadar bahwa kita masih hidup bersama orang-orang yang baik. Semoga dengan adanya kita di lingkungan yang baik, maka diri kita akan terbawa pula untuk menjadi pribadi yang lebih baik.


Kamis, 10 September 2015

"Setiap Orang Punya Cara Masing-masing"

20.36 WIB, Kamis 24 Dzulqa'dah 1436 H - Gedung F, MAN Insan Cendekia Serpong

"Cara elu ngehargain orang ngga gini, Baq!"
"Kaga, Dam. Gua udah ngomong sebelumnya. Gua beda sama elu, dan ini cara gua, Dam!"

Kurang lebih seperti itulah percakapan yang saya dengar dari kedua teman terbaik saya, Adam Syammas Zaki dan Izzuddin Baqi, selepas tilawah bersama se-angkatan. Mereka mempermasalahkan indikator Checklist kamar yang ditempel oleh Divisi Lingkungan untuk mengecek kebersihan kamar. Izzuddin Baqi, sang pemilik kamar, merobek indikator Checklist tersebut karena kesal kamarnya yang sudah tertata rapi tapi masih juga kena Checklist. Adam Syammas Zaki, yang tidak suka dengan sikap Izzuddin Baqi tersebut, langsung mengingatkannya dan terjadilah percakapan di atas. Ketika itu saya sedang berada di tengah-tengah mereka berdua.

Bukan masalahnya yang saya cermati, tapi substansi dari percakapan mereka berdua. Mereka membicarakan tentang "Cara".

Menyampaikan kebaikan sebenarnya merupakan suatu hal yang menurut saya sangat mulia. Butuh keberanian dan keterampilan dalam melakukannya. Dan untuk menguasai hal itu, kita mesti belajar. Sebuah kebaikan yang kita sampaikan kepada orang lain, belum tentu orang lain itu akan menerimanya dengan baik. Kita butuh sebuah 'cara' agar hal-hal baik yang kita sampaikan dapat diterima oleh orang tersebut. 

Dan cara itu cukup kita cari di dalam diri kita sendiri.

Saya tidak akan membahas 'cara' milik Adam maupun Baqi. Saya hanya ingin menyampaikan apresisasi saya terhadap mereka berdua yang punya idealisme yang tinggi. Dan saya yakin, mereka sudah menemukan 'cara' mereka masing-masing.

Intinya, hendaknya kita punya keinginan untuk saling mengingatkan satu sama lain, agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.

"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang saling nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Ashr: 3)




Adam (kiri) dan Baqi (kanan) - Idealisme berbeda, namun tetap satu cita



Rabu, 05 Agustus 2015

KSM & AKSIOMA: Bertarung Dimana Saja

KSM & AKSIOMA, Palembang 3 - 7 Agustus 2015

Mengikuti sebuah kompetisi adalah sebuah hal yang menarik. Suasana dan ritme yang ada di sekitar merupakan tantangan tersendiri bagi raga ini. Melihat kobaran semangat dan usaha tanpa henti dari para kompetitor lain, membuat diri ini seakan ditarik untuk memasuki arena pertarungan.
Hidup ini sejatinya adalah pertarungan. Masing-masing dari kita telah dipersiapkan Allah swt dengan sangat baik untuk menghadapi segala halangan dan rintangan dalam hidup. Jiwa-jiwa petarung telah Allah swt tanamkan dalam diri kita masing-masing. Tinggal kita memilih, ingin terus maju ke medan pertempuran, atau hanya diam tanpa tahu apa yang akan kita hadapi di masa depan.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya." (QS At-Tin: 4)
Mari kita buat diri ini, menjadi seorang petarung yang tangguh dan kuat!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
At Wisma Atlet Jakabaring